Menurut Ustadz Adriano Rusfi, pola asuh anak telah terjadi saat anak
masih dalam kandungan. Seorang bunda/ayah yang telah "mematok target"
jenis kelamin anak dan ternyata berbeda dengan ketetapan Allah, dapat
membuat anak mengalami disorientasi seksual di alam bawah sadarnya.
Saat anak tersebut lahir, orangtua yang terlalu berharap dengan jenis
kelamin tertentu pasti akan kecewa, hal ini akan menimbulkan
"kerenggangan" hubungan batin antara ayahbunda dengan anaknya. Inipun
memiliki dampak psikologis tertentu.
Selanjutnya ekspektasi akan melahirkan preferensi dan preferensi akan
menimbulkan pola dan gaya asuh. Dimulai dari memberikan nama pada anak.
Apakah nama anak-anak kita telah clear laki-laki atau perempuan? Dan
sudahkah kita memanggilnya dengan panggilan-panggilan yang sesuai jenis
kelaminnya?
Jangan sampai karena kita begitu berharap punya anak laki-laki, kita
telah mengkoleksi baju dan pernak-pernik anak-laki laki jauh sebelum
kelahirannya. Dan ketika ternyata yang lahir adalah anak perempuan lalu
kita pakaikan baju laki-laki itu padanya dengan alasan "dibuang sayang".
Mainannya pun tak menunjukkan peran seksualnya.
Lalu sudahkah anak merasakan diferensiasi gender pada kehidupan dan
perilaku orangtuanya sebagai sebuah teladan? Ketika ia tidak melihat
adanya perbedaan yang signifikan antara "Sang Ayah" dengan "Sang Ibu",
baik dalam sikap, peran dan pembagian tugas kehidupan, adalah wajar jika
anak mengalami "sexual and gender confuses" dalam identifikasi dirinya
Yang lebih repot lagi adalah jika AYAH absen dalam mendidik anak.
Sehari-hari ia hanya menyaksikan ibunya sebagai role model tunggal.
Bagaimana ia akan memahami tentang "lelaki" dan "perempuan", baik
persamaan maupun perbedaannya? Bagaimana ia akan memahami tentang
femininitas dan maskulinitas?
Pendidikan yang terburu-buru melakukan segregasi (pemisahan) seksual
pada anak juga tidak bagus terhadap pemahaman perbedaan seksual.
Rasulullah SAW memerintahkan segregasi seksual pada anak saat ia berusia
10 tahun.
Segregasi seksual yang terburu-buru itu maksudnya adalah bahwa anak
laki-laki dan anak perempuan telah dipisahkan aktivitasnya terlalu dini.
Misalnya sedari TK pun sudah dipisahkan mana laki-laki mana
perempuan, padahal hadits Rasulullah jelas mengatakan bahwa "ajarilah
anakmu shalat pada saat dia berusia 7 tahun, dan pukullah pada saat
(tidak shalat) berusia 10 tahun, dan pisahkanlah tidur mereka (antara
anak laki-laki dengan anak perempuan)".
Hadist tersebut jelas menggambarkan bahwa segregasi seksual atau
pemisahan seksual secara tegas itu terjadi pada usia 10 tahun
Kenapa kita tidak perlu terburu-buru melakukan segregasi seksual?
Supaya anak-anak kita itu mampu membedakan mana laki-laki mana
perempuan. Laki-laki itu secara fisik seperti apa, perempuan seperti
apa, perilakunya seperti apa, perbedaannya seperti apa
Biarkan saja secara naluriah laki-laki menyenangi yang perempuan dan perempuan menyenangi yang laki-laki, itu naluriah.
Betapa banyaknya kasus di sekolah sekolah Islam saat ini, dimana anak
laki-laki menyukai anak perempuan, lalu diomelin. Anak perempuan
menyukai anak laki-laki, lalu diomelin. Akibatnya mereka menganggap
bahwa menyenangi lawan jenis itu adalah sesuatu yang keliru.
Banyak anak-anak yang mengalami misidentitas dan disorientasi seksual
karena tugasnya sejak kecil hanya satu: belajar. Mereka tidak pernah
dilibatkan dalam kehidupan, agar fokus mengejar kecakapan akademik dan
nilai raport. Yang laki-laki nggak pernah mengangkat barang belanjaan
orangtua. Yang perempuan nggak pernah membantu memasak di dapur.
Pokoknya: BELAJAR !!!
Tentang pondok pesantren juga begitu, anak-anak kita belum sempurna
Aqil Baligh. Kebanyakan mereka sudah Baligh tapi belum Aqil dan kita
begitu terburu-buru memasukkan mereka ke dalam Pesantren
Mereka belum kokoh sebagai pribadi, belum kokoh struktur egonya,
belum kokoh identitas dan orientasi dirinya, tiba-tiba dia masuk ke
dalam satu pendidikan satu jenis kelamin (uniseks), di mana mereka
bersama-sama di dalamnya. Padahal mereka sudah memiliki hasrat hasrat
seksual sebagai manusia dan akhirnya dilampiaskan pada sejenis (same-sex
attractions)
Kalau kita ingin memasukkan anak-anak kita ke pesantren,
sebaiknya masukkanlah setelah kita yakin bahwa anak kita telah dewasa,
setelah sempurna Aqil Baligh, telah memiliki identitas dan orientasi
diri yang jelas setelah itu terjadi, silahkan pesantrenkan.
Sumber: Kulwap Koordinator IIP
Post a Comment
Post a Comment